Secara bahasa, riba
berarti bertam-bah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat,
para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang
tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan
hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk
darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah
yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Syarah
Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah:“Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul
(penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo)
dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul
Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan
riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang
diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat
diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud z:
“Riba itu ada 73
pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil
bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual
beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah
menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan
sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur
penambahan padanya, maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu
a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok
ulama oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi t dalam kitab As-Sunnah (hal.
164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah I:
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
(Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua
sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang
diharamkan Nabi n masuk dalam firman Allah I:
“Dan Allah mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam
Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan ‘Umar bin
Al-Khaththab z.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar,
Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab
ini shahih dengan dalil-dalil
sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud z.
Beliau berkata:
“Tidak boleh ada dua
akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah n melaknat pemakan
riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan
pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya
no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166)
menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang menunjukkan
bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas z,
bahwa Rasulullah n bersabda:
“Salaf (sistem salam)
pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan
sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i
(7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul
habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang
yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan
kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku
beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan
riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah
menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk
menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”
Hukum
Riba
Riba dengan segala
bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
(Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara
yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat
Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat
pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan
Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain
dengan riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram
dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu
Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar
selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t
dan An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba
adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim
dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang
terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa
ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara
mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu
Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang
riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang
rajih adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang
kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana
yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang
yang Terkena Hukum Riba
“Emas dengan emas, perak dengan perak,
burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan
garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan).
Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang
meng-ambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar z yang muttafaq
‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan
6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda
pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di
atas, ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini,
perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat sebagai
berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah,
Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq dan
Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini
adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau
sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan
Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih
oleh Asy-Syaikh Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman
Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam
jenis barang ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur
ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas,
bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai
batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri,
Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di
madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau
ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak,
ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun
segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba
padanya, seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual
beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk
barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena,
sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil
dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
“Kecuali timbangan dengan tim-bangan…
kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga
disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang
lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik
itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1
jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk
barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua
gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas t dan
dirajihkan oleh Ibnul Qayyim t, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang
dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama,
bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma,
garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku
pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib,
Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih
oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin,
Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz,
wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan,
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap
barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar
atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu
yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku
hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat
Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas
dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang
tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum
asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Allah I berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits
hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yang
disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil.
‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh
sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan
batasan-batasannya.
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah
mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan
merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan dengan
lafadz (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang
tersebut dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut
dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang
lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud
dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada
barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain.
Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau
hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan
Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas
hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada
barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain.
Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan
dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil t
ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur
termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd t:
“Muza-banah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari
sisi yang lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba
dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia
masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat
(sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat
Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya
adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits,
‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada
emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman)
untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur
dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk
barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan,
platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu
diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan
kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada
barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena
riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu
riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar)
untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas
dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat
pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga
termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah
bin Ubaid z tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata
Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini: apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena
riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata
uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan
perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan
jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i,
satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh
seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan
oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi.
Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas
disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat
tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi
sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi
jual beli, pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu
riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada
beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini.
Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdur-razaq ‘Afifi,
Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai
berikut:
1. Terjadi dua jenis
riba (fadhl dan nasi`ah) pada mata uang kertas sebagai-mana yang terjadi pada
emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual
satu jenis mata uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang
lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar
dengan 5 real Saudi secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual
satu jenis mata uang dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal),
baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual
Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual
satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan
syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan
zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal
dalam syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih
di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di
pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang
pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui
sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui,
takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.
Riba Hutang Piutang
Tanya: Assalamu alaikum.
Afwan apakah dibolehkan muamalah seperti ini: Si A meminjam uang kepada si B
sebanyak 1 juta rupiah dengan perjanjian nanti dia harus melunasinya dalam
bentuk batu bata sebanyak 4000 buah (jadi Rp. 250,-/bata) padahal harga bata
ketika itu adalah Rp. 400,-/bata. Sehingga si B bisa menjual bata tersebut
dengan harga bata ketika itu?
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Yang nampak muamalah seperti ini tidak
boleh karena pada hakikatnya muamalah ini adalah riba dalam hutang piutang.
Hakikatnya si A meminjam uang 1 juta dan harus dia kembalikan 1.6 juta,
walaupun si B melakukan hilah (tipuan) dengan memasukkan masalah batu bata di antaranya.
Wallahu a’lam.
Macam-macam
Riba
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu
disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait
dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba
Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba
jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a.
Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau
tambah nominalnya dengan mundur-nya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si
B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.”
Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang
saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut
dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah
I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b.
Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si
B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo
satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang
paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering
terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan
masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba
qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu
kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih
banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga
Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000.
Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat
jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang
mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi
Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan
adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada
Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul
Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang
dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap
pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau
penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk
riba.
2. Tindakan tersebut
termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang
diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang
dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan
mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat
baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah
menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000
dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah
ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang
berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga)
dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun
hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah
lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang
menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang
sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami
mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan
sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya
dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung
atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada
koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan
istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan
seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan
pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil
usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi
maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul
muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh
mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas
dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan
dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta
kepada si B (pegadaian) dengan mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak
pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di
dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk
riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu
pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti
pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian
harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh
meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits
riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki
(sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai
ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang
digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa
melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang
umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya
yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi
menghasil-kan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa
tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba
Fadhl
Definisinya adalah
adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara
syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul
Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba
nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa
riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin
‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan
dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan
itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z
yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin
Ash-Shamit z riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan
lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam
Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah
hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah
(tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini
adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman
keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan
wajud asal riba.
b. Hadits tersebut
dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul
(selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i,
disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini
pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara
hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba
Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada
perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim
dengan riba
jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis
ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan
adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan
oleh para fuqaha dengan riba
bai’ (riba jual beli).
Kaidah
Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang
diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul
padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1
dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang
diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa
terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak
boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada
unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari
jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja,
yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan
perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh
nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas
secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas
secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas
secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan
nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis.
Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak
disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita
perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak
(masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua
bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang
masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan
garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari
keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata
uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang
sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya
dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis
pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh
tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau
sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau
sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan
burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir,
kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits
‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah
n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak,
burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun
bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila
tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian
kedua atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma
dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang
dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam
An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu
menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu,
dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu
adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang
sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena
hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits
‘Aisyah x:
“Bahwasanya Nabi n membeli makanan dari
seorang Yahudi dan mengga-daikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun
‘alaih)
Makanan yang Nabi n beli
di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) seba-gaimana
lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang
waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo
dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal.
124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi
‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya
Al-Marwazi